Selasa, 26 Januari 2010

MEMBANGUN KELUARGA SEJAHTERA DALAM PERSPEKTIF AGAMA

1. Sepanjang sejarah peradaban manusia, keluarga selalu dipandang sebagai institusi masyarakat terkecil tempat bernaung dan penggantungan hidup anggota-anggotanya mulai dari orangtua (baca: ayah dan ibu), anak-anak, hingga anggota keluarga lainnya yang hidup bersama, seperti kakek, nenek, bibi, uwak, dan sebagainya. Begitu besarnya peran keluarga sebagai tempat bernaung dan penggantungan hidup, segenap anggotanya pasti mengharapkan suasana aman, nyaman, tenteram dan dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik lahiriah maupun batiniah. Dengan demikian, keluarga sejahtera yang antara lain ditandai dengan tercukupinya kebutuhan lahir batin serta memiliki hubungan yang serasi antar anggota keluarga, akan selalu menjadi idaman, dambaan dan cita-cita bagi setiap insan manusia.
Membangun keluarga sejahtera, atas dasar alasan-alasan tersebut, menjadi sangat
urgen dilakukan bukan sekedar karena kesejahteraan keluarga akan menjadikan hidup
anggota-anggotanya lebih bermakna dan mudah untuk mencapai kebahagiaan. Tetapi
dalam konteks yang lebih luas, keluarga yang sejahtera akan banyak mempengaruhi
ketahanan masyarakat, bangsa dan negara dalam semua aspek kehidupan sehingga akan
berpengaruh pula terhadap kemandirian suatu bangsa.
Logikanya sangat sederhana. Hanya dalam keluarga sejahtera sajalah akan terlahir sumber daya manusia yang berkualitas dan potensial untuk mendukung pembangunan. Mereka inilah yang akan membangun masyarakat, bangsa dan negara menuju kehidupan yang lebih baik. Pengertian yang lebih baik ini, tidak saja menyangkut aspek ekonomi semata, tetapi mencakup semua aspek.
2. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Urgensitas membangun keluarga sejahtera semakin kita rasakan bila kita melihat
dari sudut pandang atau perpektif agama. Pada dasarnya membangun keluarga sejahtera
menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar oleh seluruh umat manusia
dalam fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Agama Islam memiliki prinsip bahwa membangun keluarga sejahtera merupakan
upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang telah diawali dengan
pernikahan Islami. Dalam agama Islam, keluarga sejahtera disubstansikan dalam bentuk
Keluarga Sakinah yang memiliki lima tahapan mulai dari Keluarga Pra Sakinah, Keluarga
Sakinah I, II, III, dan Keluarga Sakinah III Plus. Dasar utama membangun keluarga
sejahtera ini adalah ayat-ayat dalam Surat Ar Ruum, di mana dinyatakan bahwa tujuan
berkeluarga adalah untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dengan dasar kasih
sayang. Yaitu keluarga yang saling cinta mencintai dan penuh kasih sayang sehingga
setiap anggota keluarga merasa aman, tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun dinamis menuju kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara itu agama Kristen memandang bahwa miskin itu bukan kehendak Allah, karenanya kemiskinan harus diberantas. Hanya saja dalam pelaksanaannya harus
dilakukan secara terpadu. Penyebabnya adalah karena untuk mencapai kesejahteraan
selalu bersangkut paut dengan soal sosiologi, problema ekonomi, pertanian dan teknik.
Disamping itu juga bersangkut paut dengan masalah kepadatan penduduk, pendidikan,
pembangunan watak dan hiburan.
Dalam pandangan Alkitab (Kej. Pasal 2), anak bukanlah menjadi tujuan utama perkawinan. Tetapi anak merupakan anugerah yang harus dirawat dan dijaga dengan penuh kasih sayang. Tujuan perkawinan yang utama adalah
3. membangun persekutuan tugas di mana mereka saling melayani. Itulah sebabnya
perkawinan membutuhkan pemberkatan.Menurut agama Katholik, membangun keluarga sejahtera sehingga tercukupi kebutuhan lahir batinnya, merupakan tujuan perkawinan sejak awal. Oleh karena itu, dalam perkawinan Katholik dianjurkan adanya perencanaan yang matang. Karena hanya dengan cara tersebut mereka dapat membangun keluarganya dalam kondisi moral dan sosial ekonomi yang menguntungkan.
Menurut Pedoman Kerja Umat Katholik Indonesia 3 Desember 1971 Hal 20 No 9, yang dimaksud perkawinan adalah persekutuan cinta antara dua pribadi, pria dan wanita yang dengan penuh kesadaran dan kebebasan mau menyerahkan diri pribadi dan segala kemampuannya kepada satu sama lain untuk selama-lamanya.
Selanjutnya agama Hindu berpedoman bahwa hidup ini bertujuan Moksartham Djagathita, artinya mencita-citakan tercapainya kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup manusia. Kebahagiaan hidup ini tercermin dalam bentuk terpenuhinya secara berimbang dan serasi antara empat kebutuhan pokok yang dalam bahasa Sansekertanya disebut dengan istilah Catur Purusa Artha yakni Dharma (kesucian, keluhuran, kemanusiaan dan segala kebijakan), Artha (terpenuhinya hasrat-hasrat sosial ekonominya), Kama terpenuhi hasrat hidup yang dapat memberikan kenikmatan dan kesenangan) dan Moksa tercapainya peningkatan rohaniah yaitu ketenteraman batin).
Dengan demikian upaya untuk mewujudkan kesejahteraan pada tiap-tiap keluarga adalah sejalan dengan tujuan agama Hindu dan pada hakekatnya merupakan tuntutan dari setiap umat yang menganut agama. Hanya saja untuk mencapai kesejahteraan ini ada norma-norma tertentu yang patut diperhatikan sehingga kesejahteraan ini diperoleh dengan cara yang luhur dan benar.
4 .Sedangkan dalam pandangan agama Budha, terutama yang dituangkan dalam
doktrin Empat Kasunyatan Mulia (Cattari Ariya Saccani), hidup ini adalah dhuka (derita). Oleh karena itu, setiap gerak dari usaha dan perjuangan umat manusia adalah berusaha untuk mengatasi atau meringankan penderitaan ini. Menurut agama Budha, kebahagiaan duniawi terbesar yang dapat dinikmati manusia adalah dua makhluk yang saling mencintai di dalam perkawinan yang diberkahi. Untuk mencapai kebahagiaan hidup duniawi, Sang Budha menganjurkan agar perkawinan itu merupakan perkawinan di dalam Dharma. Artinya perkawinan yang berdasarkan atas ajaran Sang Budha dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan keluarga, yang terdapat dalam khotbah Sang Budha yang bernama Sigalovada Sutta.
Atas dasar uraian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membangun
keluarga sejahtera sejak awal telah mendapat perhatian penuh dari semua agama besar di Indonesia, jauh sebelum program-program pembangunan keluarga sejahtera dicanangkan
pemerintah. Sehingga sangat tepat kiranya bila pemerintah sekarang ini berupaya
merevitalisasi program KB sebagai bagian dari upaya membangun keluarga sejahtera
dengan melakukan re-branding dan menetapkan visi “Seluruh Keluarga Ikut KB” serta
misi “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera”. Terlebih secara demografis,
KB telah terbukti mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk secara signifikan
yang memberi peluang pada pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat termasuk
keluarga untuk mengembangkan kualitasnya, menuju kehidupan yang lebih baik sebagai
salah satu syarat tercapainya kemajuan dan kejayaan bangsa kita di kemudian hari.
sumber :Drs. Mardiya.

1 komentar:

  1. Pernikahan emang jlm terbaik utk menghindarkn diri dr perbuatn tercela, spt berzina. Jadi drpd terserang penyakit AIDS dan menjd bhn olok2 msyrkt, lebih baik mnikah. Please visit my blog too in: http://aboutagama.blogspot.com

    BalasHapus