Rabu, 10 Februari 2010

Dreams of My Father: A Story of Race and Inheritance

“Change We Can Believe In!” demikian salah satu kata pamungkas Obama yang mengantarnya menjadi orang nomor satu di Gedung Putih. Kemenangan Obama yang berasal dari kulit berwarna adalah suatu hal menarik dan mengejutkan. Olehnya itu, pergulatan hidupnya sejak kecil hingga menjadi orang nomor satu, patut diapresiasi.

Buku ini disusun berdasarkan pada tiga bagian besar, yaitu “Asal usul”, “Chicago”, dan “Kenya.” Di bagian pertama, ia menjelaskan tentang akar sejarahnya sendiri yang berasal dari perkawinan antar bangsa (miscegenation). Ayahnya, berasal dari keturunan kulit hitam Afrika, sedangkan ibunya adalah kulit putih dari tanah Amerika.

Diskriminasi ras yang terjadi di negeri Paman Sam membuat Obama agak terganggu, namun hal itu tidak membuatnya jatuh pada tindakan gegabah untuk memusuhi ras kulit putih. Mimpi ayahnya untuk menciptakan tatanah masyarakat yang saling menghargai antara kulit putih dan hitam rupanya diteruskan oleh Obama. Ia berkata, “..aku belajar untuk mondar-mandir antara dunia kulit hitam dan kulit putihku, memahami bahwa tiap dunia memiliki bahasa, kebiasaan, dan struktur arti tersendiri. Aku merasa yakin bahwa dengan sedikit penerjemahan, dua dunia itu pada akhirnya akan melekat satu sama lain.”

Kalau dipikir-pikir, menyakitkan juga kalau kita hidup di lingkungan yang antipati terhadap kita. Coba bayangkan bagaimana perasaan seorang anak ketika ayahnya yang orang Afrika dinisbatkan dengan kata-kata yang agak menusuk. “Apakah ayahmu makan orang?” tanya seorang anak laki-laki pada Barack di umurnya yang kesepuluh. Jelas ayahnya tidak makan orang, justru karena ingin menjadi yang berguna maka ayahnya merantau ke tanah Amerika untuk belajar. Tapi, itulah konsekuensi sekaligus “uji nyali” apakah seseorang akan keluar sebagai yang tangguh atau terhempas.

Atau, di lain waktu, saat ia bermain dengan kawannya yang berkulit hitam juga, bernama Coretta, ia mendapatkan ejekan dari temannya yang lain. Perempuan itu perawakannya gemuk, dan gelap, dan tidak memiliki banyak teman. “Coretta punya pacar! Coretta punya pacar!” Barack membantah itu, tapi temannya yang lain mengejek dengan berkata, Coretta punya pacar! Mengapa tak kau cium saja, mister boyfriend?”

Saat ia beranjak menjadi pemuda, pemikiran Barack untuk menjadi aktivis dan pemersatu mulai terlihat perlahan. Slogan “Change!” (Berubah!) yang belakangan membuatnya mendapatkan simpati dari banyak kalangan tampaknya telah tersimpan dalam benaknya sejak masih muda. “Aku ingin membuat perubahan,” demikian ujar Obama di halaman 151. Ia tampaknya tidak ingin menjadi sia-sia saja jadi manusia. Dengan perubahan yang diidamkannya, ia melanjutkan, bahwa dirinya, “ingin menjadi orang yang berguna.”

Pada bagian kedua buku ini, dimulai dengan keputusan Barack pada 1983 untuk terjun menjadi aktivis penggalangan masyarakat (community organizer). Di titik ini, ide perubahan-nya terus dipegang erat. Ia menginginkan perubahan! Perubahan dimana? “Perubahan di Gedung Putih, tempat Reagen dan antek-anteknya melaksanakan pekerjaan kotornya. Perubahan di Kongres, (yang) tak bergigi dan korup.” Perubahan lebih besar yang ia serukan masa itu adalah perubahan dalam semangat negaranya yang dalam pandangannya, “maniak dan asyik dengan dirinya sendiri.” Perubahan itu, kata dia, tidak akan muncul dari atas! “Perubahan,” kata Obama, “akan muncul dari massa akar rumput yang diberdayakan!”

Keputusan Obama untuk lebih dekat kepada massa akar rumput (grass roots), selain karena semangatnya untuk berubah, juga mungkin karena titisan spirit dari ayahnya. Dalam surat yang ditulis oleh ayahnya, ada sebuah kutipan menarik yang relevan dengan hal ini. Ayahnya menulis, “…yang terpenting adalah kau mengenal masyarakatmu dan tempat kau semestinya berada.” Dalam pribahasa kita yang berbunyi “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” diaplikasikan Obama dengan berusaha bersialisasi, menjauhkan prasangka, dan memberdayakan masyarakat dimulai dari yang tidak jauh darinya.

Di bagian ketiga, Obama menjelaskan pengalamannya “pulang kampung” ke Kenya. Di sana ia bertemu dengan keluarganya. Ia diceritakan bahwa suku aslinya adalah masyarakat yang bertani, mengembala, dan atau apa yang oleh para antropolog awal abad ke-19 disebut sebagai masyarakat dengan “primitive culture.” Namun, Hussein (kakek Obama), walau begitu, ia cinta pada pengetahuan. “Pengetahuan,” kata Hussein, “adalah sumber kekuatan orang kulit putih dan ia ingin memastikan bahwa anaknya terpelajar seperti orang kulit putih.” Olehnya itu tak heran kalau kemudian ayah Obama melanjutkan pendidikannya di Amerika.

Di masa perang kemerdekaan antara kulit hitam dan putih di Kenya, kakek Obama menyakiti bahwa orang kulit hitam di Afrika tidak akan pernah bisa menang, karena mereka hanya mau bekerjasama dengan suku atau klannya sendiri. Sedangkan, kalangan kulit putih bekerja bersama-sama untuk kekuatan mereka. Ada filosofi menarik yang bisa kita petik di sini, bahwa “bersama kita bisa” adalah mutlak adanya sebagai prasyarakat kemenangan. Kata kakek Obama yang nama aslinya Onyango, “Orang kulit putih itu seperti semut. Kalau sendirian, ia dapat dihancurkan dengan mudah. Tetapi, seperti juga semut, mereka bekerja bersama-sama. Bangsanya, perjuangannya—hal-hal ini lebih penting baginya dibanding dengan dirinya sendiri.”

Membaca buku ini, seperti membaca diri kita sendiri. Masalah perbedaan rasial juga sebenarnya terjadi di negeri kita, walau tidak sedramatis Obama. Di negeri kita, derita seperti ketimpangan ekonomi antara kaum berada dan kaum papa betapa menjadi masalah masyarakat perkotaan. Pergulatan hidup Obama dalam buku ini dengan selalu ingin berubah, rasanya menarik untuk menjadi inspirasi kita semua, baik secara pribadi maupun kolektif. ***
pertama kali diterbitkan pada 1995. Dalam terbitan Penerbit Mizan (2009),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar